PERADABAN ISLAM PADA MASA RASUL DAN KHULAFAURRASYIDIN
SEBAGAI PONDASI MERCUSUAR PERADABAN DUNIA[1]
Oleh:
Aip Aly Arfan[2]
A. Pendahuluan
Istilah sejarah berasal dari bahasa Arab Asy-Syajarah,
yang berarti pohon. Tidak diketahui secara pasti alasan dipilihnya
istilah ini, tetapi setidaknya
sebagaimana yang dikatakan Azyumardi Azra, istilah ini digunakan karena
berkaitan dengan syajaratun nasab atau pohon genealogis yang saat ini
disebut sebagai sejarah keluarga.[3]
Penggunaan istilah sejarah juga bisa karena syajara dalam bahasa Arab
juga bisa berarti to happen, to occur dan to develop. Masih
dengan Azra, pada perkembangan selanjutnya sejarah memiliki arti yang sama
dengan tarikh dalam bahasa Arab, history dari bahasa Inggris dan geschichte dari bahasa Jerman yang
berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa silam.[4]
Dari sini bisa disimpulkan bahwa secara
sederhana, sejarah adalah kejadian-kejadian atau peristiwa yang dialami manusia
pada masa lampau. Pertanyaannya adalah apakah kejadian-kejadian masa lampau itu
berguna bagi kita manusia, atau secara lebih spesifik sebagai umat Islam?
Tentunya manusia tidak akan belajar sejarah
jika tidak ada gunanya. Dan jika membahas tentang sejarah, maka kita akan
mendapatkan banyak manfaat dari sejarah.
Dalam buku yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah, Kuntowijoyo mengatakan
bahwa sejarah itu perlu dan berguna secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara
intrinsik, sejarah sebagai pengetahuan berguna sebagai Ilmu, sebagai cara mengetahui masa lampau, sebagai
pernyataan pendapat dan sebagai profesi.[5]
Sedangkan secara ekstrinsik, sejarah memiliki manfaat sebagai media pendidikan,
yaitu pendidikan moral, pendidikan penalaran, pendidikan politik, pendidikan
kebijakan, pendidikan perubahan, pendidikan masa depan, pendidikan keindahan
dan sebagai ilmu bantu.[6]
Bagi kita umat Islam, sebagaimana kita
ketahui, bahwa sebagian besar isi dalam kitab suci Al-Quran atau 1/3 nya berbicara
tentang sejarah yang dikenal dengan kisah. Ini berarti secara tidak langsung, Allah
SWT seakan mengatakan bahwa sejarah itu penting dan berguna untuk umat Islam,
meskipun kita juga tidak dapat mengatakan bahwa Al-quran adalah buku sejarah.
Salah satu sejarah yang penting dipelajari,
terutama oleh umat Islam adalah sejarah peradaban Islam masa klasik yang
terkenal dengan masa keemasan dan puncak peradaban Islam. Bak primadona dan
idola umat Islam, masa klasik sejarah Islam selalu dikagumi dan dipuja umat
Islam dari berbagai kalangan, dari kelompok Islam tradisionalis maupun Islam
modern dengan berbagai variannya. Alasan utamanya adalah karena masa klasik
merupakan masa di mana umat Islam meraih kesuksesan yang luar biasa di berbagai
bidang kehidupannya. Dalam konteks peradaban, masa klasik sejarah Islam
merupakan masa di mana tidak ada satu peradaban pun di dunia yang meraih
kemajuan seperti yang dicapai peradaban Islam. Bahkan, tidaklah berlebihan jika
dikatakan bahwa peradaban Islam pada masa klasik merupakan satu-satunya
referensi bagi peradaban Barat yang hingga kini masih menjadi pemeran utama
dalam film peradaban dunia. Peradaban Islam pada masa klasik adalah bintang
yang menerangi dunia dari kegelapan peradaban. Ia adalah mercusuar peradaban
dunia.
Banyak sekali pertanyaan yang muncul terkait
dengan pernyataan bahwa peradaban Islam masa klasik merupakan mercusuar
peradaban dunia. Di antaranya adalah bagaimana gambaran peradaban Islam masa
klasik ini? Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi kecemerlangan
peradaban Islam masa klasik? Apa saja monumen-monumen penting peradaban Islam
yang menjadi mercusuar peradaban dunia ini? Dan seberapa besar peradaban Islam
memberikan pengaruhnya terhadap kemajuan peradaban Barat yang sampai detik ini
masih menjadi penguasa peradaban dunia?
Namun, pembahasan gambaran peradaban Islam
masa klasik secara keseluruhan dari masa Rasul hingga masa Bani Abbasiyah,
memerlukan uraian yang sangat panjang. Oleh karena itu, makalah ini hanya akan
membahas salah satu fase yang sangat penting dalam masa klasik, yaitu masa
Rasul dan Khulafaurrasyidin. Sebagai fase awal, fase ini memiliki tingkat urgensinya
yang tinggi dan posisi yang sangat strategis karena ia merupakan dasar dan
pondasi bagi perkembangan dan kemajuan peradaban yang dicapai kemudian pada
fase-fase selanjutnya, yaitu fase bani Umayah dan Bani Abbasiyah,
Dari pembatasan pembahasan di atas, maka
pertanyaan yang akan dijawab dalam makalah ini adalah bagaimana gambaran
peradaban Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin sebagai pondasi mercusuar
peradaban dunia?
B. Peradaban Islam Masa Rasul dan Khulafaurrasyidin
1. Penyebaran Dakwah Islam
Pada masa permulaan Islam, nabi Muhammad Saw
melancarkan dakwah secara sembunyi-sembunyi. Hal ini, selain karena belum
adanya perintah untuk berdakwah secara terang-terangan, juga karena lingkungan
yang secara politis belum kondusif. Pada masa ini, yang menerima dakwah Nabi
untuk memeluk Islam adalah mereka yang mempunyai hubungan dekat seperti
isterinya sendiri, Khadijah dan keponakannya, Ali bin Abi Thalib. Kemudian
dilanjutkan dengan para tokoh masyarakat Quraisy, seperti Abu Bakar As-Shiddiq
yang kemudian diikuti oleh kelima orang lainnya, yaitu Utsman bin Affan, Zubair
bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqasy, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah bin
Ubaidillah. Setelah itu, para tokoh Quraisy lainnya, seperti Abu Ubaidah bin Al
Jarrah dan Al Arqam bin Abi Al Arqam yang dilanjutkan dengan orang-orang dari
kalangan hamba sahaya dan fakir miskin. Mereka inilah yang disebut dengan
kelompok As-Sabiqun al awwalun[7].
Setelah kurang lebih 3 (tiga) tahun berdakwah
secara sembunyi-sembunyi, turun perintah Allah Swt kepada Nabi agar melakukan
dakwah secara terang-terangan. Tentunya, selain karena perintah Allah di atas,
keadaan politik Islam waktu itu sudah menguat, meskipun masih sangat terbatas.
Oleh karena itu, Nabi pun dengan keberaniannya yang luar biasa dan gaya bahasa yang
meyakinkan mengatakan kepada keluarga Abdul Muthalib pada suatu undangan makan
yang dipersiapkan oleh Ali bin Abi Thalib. Beliau berkata: “Wahai Bani Abdul
Muthalib! Demi Allah, sesungguhnya saya tidak pernah mendapatkan seorang Arab
pun yang datang kepada kaumnya dengan membawa sesuatu yang lebih baik dari apa
yang saya bawa kepada kalian. Sesungguhnya saya datang membawa kebaikan untuk
kalian di dunia dan akhirat” [8].
Namun, hal ini bukan berarti dakwah Nabi
berjalan tanpa hambatan. Bahkan sejak diproklamirkannya dakwah Islam secara
terang-terangan, kaum Quraisy yang sebelumnya kurang memberikan respon negatif,
berubah secara drastis menjadi memusuhi Nabi dan menentang dakwah yang
dijalankannya itu. Secara keagamaan, mungkin pengaruh yang ditimbulkan oleh
dakwah secara terang-terangan ini tidak sebesar pada aspek politik, selain
tentu saja materi. Kaum Quraisy merasa khawatir jika dakwah Islam semakin
diterima oleh masyarakat Arab akan berpengaruh pada kehancuran agama mereka
yang diwariskan secara turun temurun dan juga keuntungan materi yang didapat
sebagai imbalan dari posisi penjaga dan pengaman Ka’bah. Oleh karena itu,
segala daya dan upaya dilancarkan oleh kaum Quraisy untuk membendung dakwah
Nabi, dari hanya sekadar mengejek hingga menyiksa sahabat-sahabat beliau.
Keadaan seperti ini
tentu sangat memukul hati dan kejiwaan Nabi dan para sahabat beliau yang lain. Untung saja ada Abu Thalib, paman beliau yang
selalu menolong dan melindungi dakwahnya. Keberadaan Abu Thalib di sisi Nabi
sangat mempengaruhi dakwah Islam karena kedudukannya secara politis di mata
kaum Quraisy sangat tinggi sehingga bagaimanapun sepak terjang Nabi yang
membuat geram kaum Quraisy dapat terlaksana tanpa adanya hambatan dan dakwah
Islam pun terus berjalan.
2. Hijrah ke Habasyah
Kalau sepak terjang nabi Muhammad Saw dalam
dakwah Islam berjalan tanpa hambatan berarti, lain halnya yang terjadi dengan
para sahabat beliau. Para kafir Quraisy melancarkan penolakannya terhadap
dakwah Islam dengan menyiksa para sahabat Nabi seperti Ammar bin Yasir dan
kedua orang tuanya yang dijemur di tengah teriknya sinar matahari dan Bilal bin
Rabah yang selain muka dan punggungnya ditimpakan ke pasir panas di terik
matahari, juga dadanya dibebani batu besar.
Melihat keadaan para sahabatnya yang
memprihatinkan itu, Nabi pun menyarankan mereka untuk melakukan hijrah ke
Habasyah. Sebenarnya banyak tempat yang bisa jadi alternatif lokasi hijrah,
namun setelah dipertimbangkan dengan matang, akhirnya pilihan jatuh kepada
Habasyah. Dan pilihan Habasyah sebagai tujuan hijrah dilakukan karena alasan
politis karena rajanya pada waktu itu, Negus, adalah seorang yang terkenal adil
dan bijaksana meskipun beragama Nasrani sehingga diharapkan dapat melindungi
para sahabatnya dari gangguan kaum Quraisy. Adapun kaum muslimin yang berhijrah
ke Habasyah untuk mendapatkan perlindungan politik ini pada awalnya berjumlah
14 orang, 10 laki-laki dan 4 perempuan. Kemudian bertambah menjadi 83 laki-laki
dan 19 perempuan di luar anak-anak yang keseluruhannya berasal dari kaum
Quraisy. Di antara mereka terdapat Utsman bin Affan dan isterinya Ruqyyah binti
Rasulillah, Zubair bin Al Awwam, Abdullah bin Auf, Ja’far bin Abi Thalib
beserta isterinya dan ‘Amr bin Sa’id bin Al ‘Ash bersama saudaranya Khalid bin
Sa’id bin Al ‘Ash[9].
Sebagaimana yang diperkirakan oleh Nabi,
pilihan politik Habasyah sebagai tempat hijrah adalah pilihan yang sangat
tepat. Karena, meskipun kaum kafir Quraisy berusaha mempengaruhi Negus, raja
Habasyah dengan mendatanginya dan menjelek-jelekan kaum muslimin yang melakukan
hijrah tersebut agar melakukan pengusiran terhadap mereka, hal ini sia-sia
saja. Mereka pun pulang dengan tangan hampa dan rasa kecewa yang mendalam[10].
3. Hijrah ke Yatsrib
Yatsrib adalah suatu tempat yang dihuni oleh
orang-orang Yahudi yang datang dari Palestina ketika mereka terusir pada
peristiwa invasi Hadrian dan orang-orang Aus dan Khazraj yang berasal dari
salah satu suku Arab Selatan. Di antara mereka terjalin hubungan yang kuat di
mana pemikiran-pemikiran keagamaan yang dibawa oleh orang-orang Yahudi tidak
mendapatkan penolakan sebagaimana yang terjadi di Mekah pada saat orang-orang
Quraisy menolak kehadiran Islam, meskipun mereka tidak serta merta memeluk
agama Yahudi.
Pada tahun kesepuluh dari usia kenabian,
Rasulullah dihadapkan pada kenyataan pahit yang harus diterimanya, yaitu
meninggalnya Abu Thalib, pamannya dan Khadijah, isterinya, dua orang yang
selalu membantunya dalam mengemban misi dakwah Islam. Karena dengan wafatnya
kedua orang tersebut, berbagai derita datang silih berganti dari orang-orang
musyrik Quraisy, terutama Abu Lahab bin Abdul Muthalib, Al Hakam bin al ’Ash
dan ‘Uqbah bin Abu Mu’ith bin Abu ‘Amr bin Umayyah. Menurut Hasan Ibrahim
Hasan, hal ini terjadi karena rumah mereka yang berdekatan dengan rumah Nabi,
sehingga dengan sangat berani mereka melemparkan kotoran saat beliau sedang
shalat dan menaruhnya pada makanan beliau.[11]
Kondisi yang dialami nabi Muhammad Saw di
atas membuat beliau berpikiran untuk mencari alternatif lain demi menunjang
tugas dakwah yang diembannya, sampai akhirnya keputusan untuk hijrah pun
diambil. Kota Thaif pada awalnya menjadi lokasi hijrah tersebut. Tapi ketika
mendapatkan penolakan dari penduduk setempat yang melempari beliau dengan batu,
akhirnya beliau memutuskan untuk menjadikan kota Yatsrib sebagai pilihan hijrah
berikutnya.
Kali ini keputusan yang diambil oleh Nabi
sangat tepat karena sambutan yang diberikan penduduk Yatsrib terhadap dakwah
beliau sangat hangat. Mereka ternyata telah mengetahui pertentangan yang
terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir Mekah melalui orang-orang
Aus yang datang ke Mekah pada tahun kesepuluh kenabian untuk menjalin
persekutuan dengan orang-orang Quraisy guna menghadapi orang-orang Khazraj yang
pada waktu itu antara orang-orang Aus dan orang-orang Khazraj sedang dalam
pertikaian di mana perang untuk memperebutkan kursi kepemimpinan di Yatsrib di
antara mereka kerap terjadi, dan yang terakhir adalah perang Bu’ats yang
dimenangkan oleh orang-orang Aus. Pada waktu itu, ada yang menerima Islam dan
ada juga yang menolaknya.
Sementara itu, orang-orang Khazraj pun
mengirim utusannya ke Mekah untuk berhaji. Di sana, keenam dari mereka bertemu dengan Nabi
dan mendengarkan dakwah beliau yang akhirnya menerimanya karena melihat kesesuaian ajaran-ajarannya dengan
ajaran-ajaran yang mereka dapatkan dari orang-orang Yahudi di Yatsrib.
Sesampainya di Yatsrib, mereka pun menceritakan tentang Rasulullah Saw kepada
penduduk Yatsrib dan mereka pun menerimanya dengan penuh gairah dan semangat
untuk menerima dakwah Islam.
Kondisi politik yang sangat kondusif ini
diakhiri dengan hijrahnya nabi Muhammad Saw beserta sahabatnya ke Yatsrib.
Hasan Ibrahim Hasan menyatakan bahwa sebelum keputusan hijrah ke Yatsrib ini
diambil, pada tahun ketigabelas kenabian, beliau diundang oleh 73 (tujuh puluh
tiga) orang Yatsrib agar Nabi berhijrah ke sana dengan maksud hendak membai’at
beliau dan menjadikannya sebagai pemimpin mereka.[12]
Mengenai pertemuan nabi Muhammad Saw dengan
delegasi dari Yatsrib ini, A. Hasjmy yang menyebut jumlahnya 72 (tujuh puluh
dua) orang dengan selisih 1 (satu) orang dengan yang dikatakan oleh Hasan
Ibrahim Hasan, bahwa pertemuan tersebut melahirkan suatu ikrar yang disebut
dengan “Ikrar Aqabah” yang berbunyi sebagai berikut:
Demi Allah, kami akan membela
Engkau ya Rasul, seperti halnya kami membela isteri dan anak-anak kami sendiri.
Sesungguhnya kami adalah putra-putra pahlawan yang selalu siap mempergunakan
senjata. Demikianlah ikrar kami, ya Junjungan”.[13]
4. Pendirian Negara Madinah
Kota Yatsrib setelah hijrahnya nabi Muhammad
Saw dan para sahabatnya dari Mekah pada tahun 622 M. diganti menjadi Kota Nabi
atau Madinatunnabi yang lebih dikenal dengan nama Madinah. Komposisi penduduk
Madinah setelah hijrah pun berubah menjadi tiga kelompok, kaum Muhajirin, yaitu
orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah, kaum Anshar, yaitu penduduk
Madinah yang telah masuk Islam dan kaum Yahudi, yaitu penduduk Madinah yang
tetap berada dalam agama mereka.
Dalam komposisi yang seperti disebutkan di
atas, tentunya diperlukan suatu wadah yang dapat menampung segala aspirasi yang
tumbuh dari masyarakat Madinah yang bukan hanya terdiri dari orang-orang Islam.
Oleh karena itulah, seperti ingin mendeklarasikan berdirinya negara Madinah,
nabi Muhammad Saw membuat suatu piagam yang kemudian disebut dengan Piagam
Madinah. Sebagaimana dijelaskan oleh Akram Dhiyauddin Umari, Piagam Madinah
terdiri dari dua teks, yang pertama adalah dokumen perjanjian dengan Yahudi dan
yang kedua adalah dokumen perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dengan
kalimat lain, isi Piagam Madinah merupakan keputusan politik nabi Muhammad Saw
dalam mengatur hubungan sosial kemasyarakatan, baik antara sesama muslim maupun
dengan masyarakat non-muslim dalam suatu institusi politik yang disebut dengan
Negara Madinah.[14]
Mengenai penyebutan Madinah sebagai Negara
Madinah, Jaih Mubarok melihat adanya keselarasan antara unsur-unsur yang ada
dalam suatu negara dalam Konvensi Montevideo tahun 1993 dengan unsur-unsur yang
ada di Madinah sehingga layak disebut Negara Madinah di mana ada penduduk yang
menetap, yaitu penduduk Yatsrib yang terdiri dari Muhajirin, Ashar dan Yahudi.
Kemudian ada wilayahnya, yaitu Yatsrib atau Madinah. Ada pemerintahannya, yaitu Nabi sebagai kepala
pemerintahannya dengan masjid sebagai pusat pemerintahannya. Dan ada hubungan
dengan negara-negara lain, yaitu hubungan dengan Habasyah (Etiopia, Mekah, dan
hubungan lain baik hubungan damai maupun perang).[15]
5. Pentingnya Nilai-nilai Syura
Jika
demokrasi adalah sistem politik Barat yang kini digunakan oleh sebagian besar
negara di dunia, maka sebenarnya prinsip-prinsip yang ada di dalamnya tidak
jauh berbeda dengan prinsip-prinsip yang ada di syura—untuk tidak dikatakan
sama.
Dalam
Islam, syura adalah suatu sistem politik yang digunakan untuk mengatasi
problema dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat Islam. Pada masa Rasul,
syura ini dilakukan baik dalam lingkungan keluarga sebagai komunitas masyarakat
paling kecil hingga negara di mana Muhammad Saw kerap bermusyawarah dengan para
sahabatnya, terutama yang berkenaan dengan masalah muamalah.
Pada
masa Khulafaurrasyidin, syura juga terus dilakukan oleh para khulafaurrasyidin,
baik dalam menetapkan solusi atas permasalahan-permasalahan sehari-hari maupun
yang secara khusus berhubungan dengan masalah politik dan kepemerintahan. Untuk
yang terakhir ini dapat kita lihat pada pemilihan mereka sebagai khalifah
sepeninggal Rasul. Tentunya, sebagai pengecualian, pembai’atan Ali yang tidak
melalui syura karena kondisi waktu itu yang mulai menampakkan perebutan
kekuasaan dengan cara-cara yang kurang bijaksana.
Ketika
nabi Muhammad Saw meninggal dunia pada tahun 632 M., beliau tidak menunjuk
salah seorang dari sahabat pun untuk menggantikan beliau sebagai pemimpin umat
Islam. Oleh karena itu para sahabat pun melakukan syura untuk menentukan
pemimpin umat Islam setelah Rasul wafat. Meskipun syura yang dilaksanakan umat
Islam terutama oleh golongan Muhajirin dan Anshar cukup alot akhirnya
dipilihlah Abu Bakar sebagai khalifah pertama.[16]
Setelah
memimpin umat Islam selama 2 (dua) tahun, Abu Bakar meninggal dunia pada 634 M.
Namun sebelumnya, ketika sakit menjelang ajal tiba, ia juga melakukan syura
dengan para sahabatnya dengan menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya
sebagai khlaifah yang langsung diterima oleh kaum muslimin. Dalam hal ini,
Hasan Ibrahim Hasan menulis bahwa Abu Bakar dalam menunjuk Umar bin Khattab
sebagai penggantinya bermusyawarah dengan para sahabat, di antara mereka adalah
Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin ‘Affan, Asid bin Khudhair dan Sa’id bin Zaid.[17]
Menjelang
kematiannya karena dibunuh setelah memegang jabatan sebagai khalifah selama
sepuluh tahun sejak 634-644 M, Umar juga melakukan syura. Namun berbeda dengan
pendahulunya, ia tidak menunjuk seorang sahabat sebagai penggantinya tapi ia
membentuk semacam wakil umat Islam sebanyak enam orang sahabat dan meminta
mereka memilih seorang sebagai khalifah penggantinya. Keenam orang tersebut
adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqasy dan Abdurrahman bin
Auf. Melalui syura ini, Usman terpilih menjadi khalifah ketiga setelah bersaing
ketat dengan Ali.[18]
6. Kepolisian
Konsep
keamanan negara dan pemerintahan telah menjadi perhatian peradaban Islam pada
masa Rasul dan Khulafaurrasyidin. Konsep ini menjadi lebih sistemik dengan
didirikannya sistem kepolisian pada masa Umar bin Khattab khalifah dengan menjalankan sistem jaga
malam. Pada masa Ali bin Abi Thalib, kepolisian menjadi lebih berkembang dengan
didirikannya struktur kepolisian di mana ada seorang kepala kepolisian yang
bertanggungjawab terhadap keamanan negara.[19]
7. Peradilan
Pada
masa Rasul belum ada lembaga yang kita sebut sekarang dengan nama Peradilan,
meskipun beliau telah mengijinkan para sahabatnya untuk memutuskan perkara-perkara
atau memutuskan hukum dalam masyarakat berdasarkan Al-Quran, Al Hadits dan
ijtihad. Di antara para hakim yang terkenal pada masa Rasul, sebagaimana
dikatakan Hasan Ibrahim Hasan, adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib,
Aisyah, Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar dan Abdullah
bin Abbas.[20]
Begitu juga dengan masa Abu Bakar.
Lembaga
peradilan baru ada pada masa Khulafaurrasyidin yang didirikan oleh Umar bin
Khattab setelah Islam tersebar luas. Ia lah yang pertama kali mengangkat hakim
di wilayah-wilayah Islam. Selain mengangkat para hakim, Umar juga telah membuat
undang-undang untuk para hakim yang harus dilaksanakan dalam menetapkan hukum.
Di antaranya adalah bahwa seorang hakim harus berlaku adil dan berpegang teguh
kepada kebenaran. Hasan Ibrahim Hasan mengatakan bahwa peradilan pada masa Khulafaurrasyidin bersifat
independen dan sangat berwibawa dan para hakim yang diangkat adalah orang-orang
yang selain luas ilmunya, juga memiliki sifat taqwa, wara’ dan adil.[21]
8. Ekonomi Islam
Pada
umumnya keadaan ekonomi Islam pada masa Rasul ini tidak berbeda dengan keadaan
ekonomi pada masa Pra Islam di mana perekonomian didominasi oleh bidang
perdagangan. Karena situasi dan kondisi pada waktu itu yang kerap dipenuhi
dengan peperangan antara kaum muslimin dengan non-muslim, maka aktivitas
perdagangan ini tidak sehebat pada masa pra Islam. Ibn Hisyam, Sejarawan muslim
abad ke-3 Hijriyah, mencatat tidak kurang dari 20 perang telah terjadi antara
kaum muslimin dan non-muslim selama pemerintahan Islam di Madinah[22].
Namun hal ini tidak berarti ekonomi Islam
tidak memiliki nilai tambah jika dibandingkan dengan peradaban Arab pra Islam.
Karena Rasulullah, setelah tiba di Madinah dan menjadi pemimpin pemerintahan di
sana telah
melakukan langkah-langkah strategis dan pintar dengan meletakkan dasar-dasar
ekonomi dan keuangan negara berdasarkan prinsip dan nilai-nilai yang digariskan
dalam Al-Quran sebagai sumber nilai dalam kehidupan masyarakat Islam, termasuk
dalam bidang ekonomi ini.
Prinsip dan nilai-nilai ekonomi Islam yang
menjadi dasar penerapan ekonomi dan keuangan yang diterapkan Rasulullah Saw dan
para sahabatnya secara umum ada dua yaitu:
- Manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu jasmani dan rohani atau materiil dan spiritual sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Maka dari itu, umat Islam tidak diperintahkan untuk memikirkan sisi akhirat saja dengan mengesampingkan sisi dunianya atau hanya mementingkan kehidupan dunia saja tanpa memiliki orientasi ke kehidupan akhirat. Dengan kalimat lain, umat Islam mempunyai hak penuh untuk memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan duniawi di samping kenikmatan dan kebahagiaan ukhrawi. Dalam hal ini Allah SWT berfirman yang artinya:
Dan
carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu kebahagiaan di akhirat
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kebahagiaan dunia dan berbuat
baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.[23]
- Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik sebagai konsumen maupun produsen, umat Islam tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang membawa kerusakan baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Sebagai konsumen, umat Islam dilarang mengonsumsi makanan yang haram seperti bangkai, darah dan daging babi dan sebagai produsen, mereka dilarang melakukan upaya-upaya mengumpulkan harta dan memperkaya diri dengan jalan-jalan pintas seperti perjudian, pencurian, penyelundupan, penggelapan uang, korupsi dan lain-lain. Singkatnya, aktivitas ekonomi dilakukan demi kemaslahatan dan kepentingan umat manusia. Berkenaan dengan prinsip kemaslahatan dalam bidang ekonomi ini, Allah SWT banyak memberikan petunjuk dan arahan kepada umat Islam dalam Al-Quran. Di antara petunjuk dan arahan-Nya, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menghukum pencuri dengan memotong tangannya, mengutuk para pedagang yang curang dengan mengancamnya dengan neraka, menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, mengancam para penimbun harta dengan neraka dan lain-lain.
Inilah yang membedakan antara ekonomi Arab
masa Islam dengan masa Pra Islam. Selain itu, yang menjadi perbedaan antara
ekonomi Arab masa Islam dan pra Islam adalah bahwa pada masa Islam, institusi
ekonomi baru dilahirkan. Institusi ini disebut dengan Baitul Mal. Pada masa
Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, Baitul Mal yang
berfungsi untuk mengumpulkan keuangan Negara untuk kepentingan masyarakat ini
berlokasi di mesjid. Sedangkan pada masa Umar bin Khattab, Baitul Mal sudah
merupakan bangunan tersendiri yang dibangun di Madinah sebagai pusat negara dan
di provinsi-provinsi lainnya sebagai cabangnya.
Adapun sumber keuangannya ada yang berasal
dari zakat, baik zakat fithrah maupun
zakat harta. Zakat fithrah ini berupa makanan-makanan pokok yang dikeluarkan
oleh setiap muslim sebelum menunaikan shalat idul fithri. Sedangkan zakat harta
adalah zakat yang dikeluarkan oleh kaum muslimin jika harta mereka telah sampai
pada nishab, yaitu jumlah minimal harta yang diwajibkan pada seorang
muslim untuk membayar zakat. Hasil pengumpulan zakat ini diberikan kepada
orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam Islam, terdapat 7 (tujuh) golongan
yang berhak menerima zakat ini adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin,
para pengurus zakat, para muallaf (orang yang baru masuk Islam), orang-orang
yang berhutang, orang-orang yang berada di jalan Allah, dan orang-orang yang
berada dalam perjalanan. [24]
Selain dari zakat, sumber keuangan Baitul Mal
berasal dari ghanimah atau nafl (hasil rampasan perang yang didapat
dengan cara paksa setelah menang perang). Ghanimah atau nafl ini
4/5 (empatperlima) nya dibagikan kepada kaum muslimin yang ikut berperang.
Sedangkan 1/5 (seperlima) nya lagi diberikan untuk Rasul beserta keluarganya
dan kepentingan kaum muslimin, untuk kaum kerabat, untuk anak-anak yatim dan
orang-orang miskin.
Mirip dengan ghanimah, sumber keuangan
lain Baitul Mal adalah Fay’ (harta yang diperoleh setelah perang dengan
cara damai). Fay’ ini diserahkan langsung kepada Rasul yang digunakan
untuk kepentingan negara dan masyarakat Islam secara keseluruhan.
Ada pula sumber keuangan Baitul Mal yang lain,
yaitu yang disebut dengan kharaj (pajak tanah) dan jizyah (upeti)
yang diambil dari non-muslim dan ahlul kitab sebagai jaminan perlindungan jiwa,
harta, kebebasan menjalankan ibadah dan pengecualian dari wajib militer. Pada
masa Rasul, pajak tanah ini dipungut ketika wilayah Khaibar ditaklukkan di mana
pemilik tanah yang mengelola tanahnya diwajibkan memberikan 50 % dari hasil
produksinya. Sedangkan besarnya upeti adalah satu dinar pertahun bagi setiap
orang laki-laki yang sanggup membayarnya. Namun, perempuan, anak-anak,
pengemis, pendeta, orangtua, penderita sakit jiwa atau sakit lainnya dibebaskan
dari kewajiban ini. [25]
Sumber keuangan Baitul Mal juga berasal dari
hasil tebusan para tawanan perang yang memiliki banyak harta. Adiwarman Azwar
Karim menulis bahwa Rasulullah Saw menetapkan uang tebusan untuk setiap orang
pada perang Badar sebesar 4.000 dirham.[26]
Selain itu semua, ada juga sumber keuangan
Baitul Mal yang lain, yaitu harta karun, harta yang ditinggalkan oleh kaum
muslimin yang meninggal tanpa meninggalkan ahli waris, harta wakaf, sedekah,
denda-denda dan pajak khusus bagi orang Islam yang kaya untuk menutupi
kekurangan keuangan negara. Untuk yang terakhir
ini, Adiwarman mengatakan bahwa Rasulullah pernah menjalankannya pada saat
terjadinya perang Tabuk.[27]
Dalam hal pendistribusian harta dari Baitul
Mal, pada masa Rasul yang dilanjutkan dengan masa khalifah Abu Bakar, konsepnya
masih sederhana yaitu bahwa setiap orang Islam harus mendapatkan haknya yang
sama dan adil sehingga kemiskinan dapat diminimalisir semaksimal mungkin. Maka
dari itu, harta dari Baitul Mal selalu habis karena langsung didistribusikan
kepada kaum muslimin untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Pada masa Umar bin Khattab, karena semakin
luasnya wilayah ekspansi Islam dan pendapatan negara mengalami peningkatan yang
signifikan, harta Baitul Mal tidak langsung dihabiskan tetapi sebagiannya
disimpan baik untuk pembayaran gaji pegawai, untuk keadaan darurat maupun
kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya. Oleh karena itu, Umar pun menunjuk
Abdullah bin Irqam sebagai bendahara negara dan Abdurrahman bin Ubaid Al Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.[28]
Selain membentuk bendahara negara, untuk
menertibkan pendistribusian harta dari Baitul Mal, Umar juga telah membentuk
departemen-departemen yang diperlukan pada masa itu. Adiwarman menyebutkan 4
(empat) departemen yang didirikan Umar, yaitu Departemen Pelayanan Militer,
yang berfungsi untuk mendistribusikan dana bantuan kepada orang-orang yang
terlibat dalam peperangan, Departemen Kehakiman dan Eksekutif, yang
bertanggungjawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif,
Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam, yang mendistribusikan dana bagi
para penyebar dan pengembang ajaran Islam seperti juru dakwah dan keluarganya
dan Departemen Jaminan Sosial, yang berfungsi untuk mendistribusikan dana
bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan seperti orang yang fakir, miskin dan menderita.[29]
Dalam rangka menjalankan salah satu fungsi
negara dalam bentuk jaminan sosial, Umar membentuk suatu komite yang terdiri
dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Muth’im untuk
membuat laporan sensus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan
golongannya dari keluarga-keluarga Nabi, kerabatnya, para sahabat, para
pejuang, wanita, anak-anak hingga budak untuk diberikan tunjangan sosial.
Jumlah tunjangan yang diberikan setiap tahun ini tidak sama antara satu
golongan dengan yang lainnya. Berkenaan dengan tunjangan sosial ini Adiwarman
menulis:
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum
Muhajirin mendapat tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin
yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga
300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan yang tidak diakui masing-masing
memperoleh 100 dirham. Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan
pension berupa gandum, minyak, madu dan cuka dalam jumlah yang tetap”.[30]
Pada
masa pemerintahan Utsman bin Affan keadaan ekonomi Islam tidak mengalami
perubahan yang signifikan dan sebagaimana khalifah sebelumnya, ia tetap
memperhatikan sistem pemberian bantuan dan santunan kepada masyarakat. Namun,
banyak kebijakan Usman yang menguntungkan keluarganya sehingga menimbulkan
benih kekecewaan yang mendalam pada sebagian besar kaum muslimin yang
mengakibatkan timbulnya kekacauan politik dan berakhir dengan terbunuhnya
Usman.
Ali
bin Abi Thalib, sebagai kkhalifah terakhir, meskipun negara berada dalam
suasana politik yang tidak menentu, tetap berusaha menerapkan ekonomi Islam
dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan umat Islam. Dalam suatu riwayat,
sebagaimana ditulis Adiwarman, Ali memberikan sumbangan sebesar 5000 dirham
setiap tahun. Ia juga pernah memenjarakan Gubernur Ray yang dianggapnya
melakukan tindak pidana korupsi.[31]
Namun,
karena pertentangan politik yang begitu tajam antara pengikut Ali dan Muawiyah,
Ali menetapkan untuk menghilangkan pengeluaran untuk angkatan laut, terutama
yang berada di sepanjang garis pantai Syria, Palestina dan Mesir karena
wilayah-wilayah ini berada dalam kekuasaan Muawiyah yang menolak kepemimpinan
Ali. [32]
9. Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam Islam, Al Quran selain sebagai sumber
ajaran-ajaran agama Islam, juga merupakan referensi pertama dan utama ilmu
pengetahuan bagi umat Islam. Hal ini karena Al-Quran berisi segala macam
pengetahuan, baik berupa pengetahuan tentang alam ghaib, seperti tentang
keberadaan Allah sebagai pencipta alam, kisah-kisah nabi-nabi dan umat-umat
terdahulu, maupun berupa ilmu-ilmu pengetahuan lainnya yang berhubungan dengan
sosial politik, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya. Oleh karena itu,
selain perintah untuk mengenal Tuhannya dan melakukan ibadah kepada-Nya, dalam
Al-Quran juga terdapat perintah kepada manusia, para hambanya untuk menggunakan
akal pikirannya dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.
Setelah Al-Quran, Hadis menempati posisi
berikutnya sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam bukunya yang berjudul Fiqih
Peradaban : Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, Yusuf Qardhawi
menguraikan dengan sangat detail posisi Hadis yang sama dengan Al-Quran, yaitu
sebagai sumber ilmu pengetahuan yang meliputi ilmu agama dan ilmu-ilmu
kemanusiaan serta alam seperti ilmu
pendidikan, ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu fisika, ilmu lingkungan dan
lain-lain[33].
Melihat peran penting ilmu pengetahuan bagi
manusia, baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai pengelola alam (Khalifatullah
fil ardl), nabi Muhammad Saw sejak permulaan Islam telah diperintahkan oleh
Allah SWT untuk membaca, yaitu ketika wahyu Al-Quran yang pertama kali turun
kepadanya yang dilanjutkan dengan surat Al-Qalam (Pena) yang mengisyaratkan
perintah kepada hamba-Nya untuk menulis.
Dan untuk mengembangkan pengetahuan yang
dimilikinya berdasarkan wahyu yang turun kepadanya dan pengalamannya dalam
kehidupan sehari-hari, nabi Muhammad Saw lalu membuka lembaga pendidikan
pertama dalam sejarah Islam, di rumah salah seorang sahabatnya yang disebut
dengan Darul Arqam. Dari sinilah kegiatan ilmu pengetahuan Islam disebarluaskan di kalangan
para sahabat beliau. Musyrfiah Sunanto mengatakan bahwa Rasul pada waktu itu
selain mengajarkan tentang keimanan, mengajarkan bacaan-bacaan Al-Quran dan
penghayatannya, beliau juga telah mengajarkan kepandaian seperti tulis-menulis
dengan menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk membuat huruf dengan mengambil
contoh dari huruf bangsa Himyar.[34]
Aktivitas keilmuan pada
masa Rasul begitu intens. Setiap kesempatan yang ada selalu digunakan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada saat kemenangan umat Islam dalam perang
Badar yang dipimpin Rasulullah pada bulan Ramadlan tahun kedua Hijriyah, para
tawanan yang berjumlah 70 orang, di antara mereka yang pandai menulis dapat
menjadi bebas dengan syarat mengajar anak-anak umat Islam kepandaian menulis.
Yusuf Qardhawi menulis, bahwa 1 orang tawanan mengajar 10 orang anak-anak umat
Islam di Madinah sebagai syarat pembebasan mereka. [35]
Selain kepandaian
membaca dan menulis, Rasulullah Saw juga menanamkan kepandaian bahasa bagi para
sahabatnya. Berkenaan dengan hal ini, Zaid dan Nabighah bin Tsabit diminta Nabi
untuk mempelajari bahasa Suryani untuk dijadikan sebagai penerjemah.[36]
Selanjutnya,
berkenaan dengan aktivitas keilmuan ini, masjid selain sebagai tempat
beribadah, juga menjadi tempat umat Islam pada jaman Nabi untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan Islam. Dari sinilah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam terkemuka
seperti Umar bin Khattab sebagai ahli hukum dan pemerintahan, Ali bin Abi
Thalib sebagai budayawan, Abdullah bin Umar sebagai ahli hadis, Abdullah bin
Abbas sebagai ahli tafsir dan sejarah dan Aisyah sebagai ahli hadis. Pada masa
ini, Nabi membangun dua masjid, yang pertama adalah Masjid Quba’ yang dibangun ketika beliau tiba
di Madinah, yaitu pada tahun 622 M./ 1 H. Masjid ini, meskipun tidak begitu
besar, namun arsitekturnya menjadi model pada pembangunan masjid-masjid
selanjutnya. Yang kedua
adalah Masjid Madinah yang dikenal dengan nama Masjid Nabawi. Kedua masjid ini
hingga sekarang masih ada bahkan diperbesar dan diperindah sebagai penghargaan
kepada nilai-nilai historis dan peradaban yang terkandung di dalamnya.
C. Penutup
Dari uraian-uraian di atas, dapat dilihat penting dan strategisnya
posisi fase Rasul dan Khulafaurrasyidin dalam era panjang masa klasik sebagai
mercusuar peradaban dunia. Selain itu hal penting yang bisa dijadikan
kesimpulan adalah bahwa unsur-unsur yang diperlukan dalam membangun peradaban
Islam pada masa Rasul dan Khulafaurrasyidin, di antaranya adalah politik,
ekonomi dan pendidikan. Tanpa ketiga hal tersebut, maka kembalinya kejayaan
peradaban Islam tidak akan pernah diraih.
Yang juga menjadi kesimpulan penulis di sini adalah bahwa peradaban
Islam masa Rasul dan Khulafaurrasyidin tidak terbentuk tanpa adanya interaksi
dengan lingkungan sosial, politik dan peradaban-peradaban lain yang lahir dan
hidup sebelum dan pada saat kehadiran Islam di muka bumi.
Jika sejarah itu penting dan sangat berguna bagi umat Islam, maka
belajar dari sejarah peradaban Islam masa klasik, sebagai sebuah rekomendasi,
penulis merekomendasikan untuk seluruh umat Islam, terutama umat Islam di Indonesia agar memiliki penguasaan dan
kompetensi dalam ketiga bidang ini jika umat Islam pada masa kini menginginkan
kembalinya kejayaan peradaban Islam di masa mendatang. Wallahu a’lam
bisshawab.
[1] Makalah ini disampaikan pada diskusi Lecturer’s Study Club (LSC) Sekolah
Tinggi Agama Islam Indonesia (STAIINDO) Jakarta pada tanggal 22 April 2014.
[2] Penulis adalah Dosen Sejarah dan Peradaban Islam dan Ketua Program
Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia
(STAIINDO) Jakarta.
[3] Azyumardi Azra, Penelitian Non-Normatif tentang Islam: Pemikiran
Awal tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Fakultas Adab, dalam Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, (Bandun, Penerbit
Nuansa, Cet. Pertama: 1998): 119.
[4] Azyumardi Azra, Penelitian Non-Normatif tentang Islam: 119.
[5] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya, Cet. Ke-4: 2001: 20)
[6] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah: 26.
[7] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid
I,(Jakarta: Kalam Mulia): 149.
[8] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 150.
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 164.
[10] Lihat kisah provokasi kaum Kafir Quraisy kepada Negus dalam Sejarah
dan Kebudayaan Islam, jilid 1, h. 165-167.
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 169.
[12] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam,: 179.
[13] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
ke-5, tahun 1995): 49.
[14] Lihat untuk lebih jelasnya, Akram Dhiyauddin Umari dalam bukunya Masyarakat
Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, (Terj.) Cet. ke 1, GIP,
tahun 1999.:122-133
[15] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Bani Quraiys,
cet. ke-1, 2004: 32.
[16] Lihat kisah pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama
selengkapnya dalam tulisan Ibn Hisyam, As sirah an nabawiyyah, jilid VI,
Darul jil, Cet. ke 1, 1991, : 77-78
[17] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II
: 408.
[18] Kisah syura ini secara lengkap dapat dilihat dalam tulisan Hasan
Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid II: 483-488.
[19] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2: 329.
[20] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2:
371.
[21] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid 2:
375.
[22] Di antara perang-perang ini adalah Perang Badar, Perang Uhud,
Perang Dzaturriqa’, Perang Khandaq, Perang Bani Quraizhah, dan Perang Bani
Musthalaq.
[23] Q.S. Al Qashas [28]: 77.
[24] Q.S. At Taubah: 60.
[25] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
edisi ketiga, PT RajaGrafindo Persada, 2004: 43-44.
[26] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 41.
[27] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 48.
[28] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 60.
Bandingkan dengan yang ditulis oleh Hasan Ibrahim Hasan Sejarah dan
Kebudayaan Islam, jilid II: 306.
[29] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: 62
[30] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam:
63-64.
[33] Untuk lebih jelas tentang Sunnah sebagai
sumber ilmu pengetahuan Islam, lihat buku Yusuf Qardhawi yang berjudul Fiqih
Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan (Terj.), Danakarya,
Surabaya, Cet. Ke 1, 1997: 103-253.
[34] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (cet. ke 1, Kencana, 2003):
18.
[35] Yusuf Qardlawi, Fiqih Peradaban:
Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan, (Surabaya : Dunia Ilmu): 235.
No comments:
Post a Comment