MEMBANGUN SINERGITAS DOSEN DAN MAHASISWA
DALAM PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT CENTERED LEARNING (SCL) DI
PERGURUAN TINGGI[1]
Oleh:
H. Aip Aly Arfan, MA[2]
A. Pendahuluan
Masa
reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 telah membawa demokrasi ke
arah yang relatif lebih baik dengan masuknya ke dunia pendidikan
nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab
pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah
pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi diharapkan
akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh lebih positif di dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selain itu, pentingnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang
sejahtera dan berkualitas juga menjadi perkembangan penting masa reformasi yang
terwujud dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dengan
terbitnya UU ini, diharapkan bukan hanya kesejahteraan para guru dan dosen yang
meningkat, tetapi juga kualitasnya. Apalagi ditambah dengan
Peraturan Pemerintah (PP) no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP).
Sekarang reformasi sudah
hampir memasuki usia 17 tahun. Dengan masa yang cukup lama disertai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi informasi yang sangat pesat
ini, seharusnya kualitas pendidikan di Indonesia juga meningkat. Namun yang
terjadi adalah sebaliknya. Semakin hari pendidikan di Indonesia nampak semakin
memburuk. Hal ini ditandai dengan banyaknya sarjana-sarjana atau lulusan
perguruan tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan jurusannya, atau malah
menganggur dikarenakan tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia
kerja.
Tentunya banyak faktor yang
melatarbelakangi buruknya lulusan perguruan tinggi ini di Indonesia. Salah
satunya adalah mungkin karena belum diterapkannya model pembelajaran Student
Centered Learning (SCL) di perguruan tinggi yang merupakan faktor terpenting
dalam kualitas belajar mahasiswa, yang pada gilirannya akan menjadi alumni atau
lulusan yang berkompeten dan memiliki keahlian yang dibutuhkan dalam karier dan
mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya di dalam masyarakat.
Belakangan ini,
diskusi-diskusi, lokakarya dan seminar-seminar tentang Student Centered
Learning (SCL) juga mulai banyak dilakukan dalam rangka mewacanakan
penerapannya di perguruan tinggi. Bahkan beberapa perguruan tinggi di Indonesia
sudah menerapkan model pembelajaran yang secara teoritis telah menjadi
pembicaraan pada pertengahan abad ke-20 ini di institusi-institusi mereka,
seperti Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Apa
yang dimaksud Student Centered Learning (SCL) ini? Bagaimana penerapannya di
perguruan tinggi? Dan bagaimana membangun sinergi antara dosen dan mahasiswa dalam menerapkan SCL ini
di perguruan tinggi?
B. Dari Teacher Centered Learning (TCL) ke Student Centered Learning (SCL)
Selama ini di Indonesia, model pembelajaran yang
diterapkan masih didominasi oleh model pembelajaran yang dikenal dengan istilah
Teacher Centered Learning (TCL) di mana aktivitas pembelajaran atau pemberian
materi kuliah yang bersifat satu arah, yaitu dari dosen ke mahasiswa. Pada
model TCL ini, dosen lebih banyak menggunakan metode ceramah dalam mentransfer
ilmu pengetahuan yang dimilikinya ke mahasiswa yang hanya mendengarkan dan
sesekali mencatat apa yang didengarnya dari dosen. Di sini nampak bahwa dosen
merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Sebenarnya, dalam penerapan
model TCl ini sudah dilakukan inovasi berupa tanya jawab maupun pemberian
tugas, namun tetap saja hasilnya belum optimal.
Seiring dengan perkembangan zaman dengan
pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi informasi,
model TCL ini dirasa sudah kurang efektif lagi dalam meningkatkan kualitas
akademik mahasiswa. Oleh karena itu, beberapa kampus sudah mulai beralih dari
model TCL ini ke model pembelajaran yang dikenal dengan istilah Student
Centered Learning (SCL). Apa yang
dimaksud dengan Student Centered Learning (SCL) ini?
Banyak definisi SCL yang diberikan oleh para
ahli. Di antara mereka ada Rogers sebagaimana dikutip Zulfia Trinova, bahwa SCL adalah perpindahan
kekuatan dalam proses pembelajaran dari kekuatan guru sebagai pakar ke kekuatan
siswa sebagai pembelajar. Ada juga definisi yang diberikan oleh Kember
sebagaimana dikutip oleh Zulfia bahwa SCL merupakan sebuah kutub proses pembelajaran
yang menekankan siswa sebagai pembangun pengetahuan dan guru sebagai agen
pengetahuan.[3]
Berbeda dengan model TCL yang menempatkan dosen
sebagai pusat materi, maka model SCL
sebaliknya, di mana mahasiswa adalah sumber pengetahuannya sendiri. Hal
ini didasari oleh pemikiran bahwa mahasiswa merupakan kunci menuju ke
pengetahuan dan keterampilannya sendiri, bukan dosen. Dengan redaksi yang
berbeda, namun secara substansinya sama, O,Neill G, Mc Mahon sebagaimana
dikutip oleh Harsono, mengatakan bahwa ide dasar SCL ini adalah Student
might not only choose what to study, but how and why that might be interesting
one to study. [4]
Pemikiran ini didukung oleh adanya penelitian tentang kerja otak manusia,
di mana seseorang akan belajar secara lebih baik jika mengalami langsung dan
terlibat aktif dalam proses tersebut.
C. Gambaran Perbandingan antara TCL dan SCL
Apabila
dibandingkan antara Teacher Centered Learning (TCL) dan Student
Centered Learning (SCL) maka hasilnya adalah sebagaimana tercantum pada tabel berikut[5]:
Variabel
Instruksional
|
Pendekatan Instruksional
|
|
Teacher centered learning
|
Student centered learning
|
|
1
|
2
|
3
|
Hasil belajar
(Learning
outcomes)
|
•
Informasi verbal yang secara spesifik mengacu pada bidang ilmu tertentu
• Tingkat
keterampilan berpikir rendah (mengingat, mengenal, menjelaskan)
•
Menghafalkan suatu fakta, rumus, atau besaran yang abstrak dan terpisah-pisah
atau terkotak- kotak
|
• Informasi dan pengetahuan
interdisiplin
• Tingkat ketrampilan berpikir
tinggi (problem solving)
•
Keterampilan memproses
informasi
(mengakses, mengorganisasikan, menginterpretasikan, mengkomunikasikan
informasi)
|
1
|
2
|
3
|
Tujuan belajar
|
• Guru
menentukan tujuan instruksional berdasarkan pengalaman, praktek yang telah
dilakukan, ataupun standar yang telah ditentukan menurut kurikulum negara
yang berlaku
|
• Siswa
bekerja bersama guru untuk memilih tujuan belajar berdasarkan permasalahan
yang dihadapi, hal-hal yang telah dipelajari dan dikuasai siswa sebelum-nya,
ketertarikan, dan pengalaman sebelumnya.
|
Strategi belajar
|
• Strategi belajar ditentukan oleh
guru
• Didisain untuk kemajuan seluruh
kelompok dan berbasis pada kemampuan rata-rata
•
Informasi terutama diatur dan diberikan oleh guru, seperti kuliah, ditambah
bahan bacaan wajib, dan tugas.
|
• Guru
berkerja sama dengan siswa untuk menentukan strategi belajar
• Didisain
untuk memenuhi kecepatan dan kebutuhan belajar mandiri setiap siswa
• Siswa
diberikan akses langsung ke berbagai sumber informasi seperti buku, database online, sumber
masyarakat.
|
Pengukuran
dan penilaian
|
• Pengukuran dilakukan untuk mengelompokkan siswa
• Tes atau
ujian diadakan untuk mengukur keberhasilan siswa menguasai informasi tertentu
• Guru menentukan kriteria keberhasilan untuk siswa
|
• Pengukuran adalah bagian integral dari proses belajar
• Pengukuran berbasis kinerja siswa digunakan untuk menilai kemampuan
siswa
Mengaplikasikan pengetahuan-
nya
|
1
|
2
|
3
|
Peran guru
|
• Guru
mengatur dan mempresentasi kan informasi kepada siswa
• Guru
berperan sebagai penjaga ilmu pengetahuan dan mengontrol pilihan siswa atas
bahan belajar
• Guru memimpin proses belajar
|
• Guru
menyediakan berbagai cara untuk mengakses informasi
• Guru
berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk mendapatkan dan
memproses informasi
• Guru
memfasilitasi proses belajar
|
Peran siswa
|
• Siswa
mengharapkan guru untuk mengajar mereka sehingga dapat lulus ujian
• Siswa berperan pasif sebagai penerima informasi
• Siswa
merekonstruksi pengetahuan dan informasi
|
• Siswa
bertanggung jawab terhadap proses belajar
• Siswa
berperan aktif dalam mencaripengetahuan
• Siswa
mengkonstruksi pengetahuan dan makna
|
Lingkungan
belajar
|
• Siswa duduk berjajar dalam format kelas
•
Informasi dipresentasikan melalui kuliah, buku, dan media lain
|
• Siswa belajar
di suatu tempat dengan akses penuh kepada sumber belajar
• Siswa
lebih banyak bekerja secara mandiri dan pada waktu tertentu bekerjasama
secara kelompok kecil
|
C. Penerapan SCL di Perguruan Tinggi
Penerapan SCL di perguruan tinggi dapat diartikan sebagai kegiatan yang
terprogram dalam desain facilitating, empowering dan enabling untuk
mahasiswa agar dapat belajar secara aktif yang menekankan sebagai sumber
belajar.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa SCL merupakan model atau
strategi pembelajaran yang menempatkan mahasiswa sebagai subjek, maka dosen
tidak lagi menjadi pusat ilmu pengetahuan atau sumber materi utama dan
posisinya pun menjadi fasilitator, motivator dan mitra pembelajaran.
Adapun ciri-ciri atau
karakteristik pembelajaran dengan model SCL sebagaimana yang dijelaskan oleh
Neila Ramdhani adalah sebagai berikut:
1.
Mahasiswa belajar, baik secara individu maupun
kelompok untuk membangun pengetahuan dengan cara mencari dan menggali sendiri
informasi dan teknologi yang dibutuhkan secara aktif.
2.
Dosen lebih
berperan sebagai fasilitator dibanding sebagai mentor.
3.
Mahasiswa tidak
sekadar kompeten dalam ilmunya, tetapi juga dalam belajar. Artinya mahasiswa
tidak hanya menguasai matakuliahnya, tetapi juga belajar bagaimana belajar.
4.
Belajar menjadi kegiatan komunitas yang
difasilitasi oleh dosen yang mampu mengelola pembelajarannya dengan
berorientasi kepada mahasiswa.
5.
Belajar dimaknai sebagai pendidikan sepanjang
hayat.
6.
Belajar, termasuk memanfaatkan teknologi
berfungsi tidak hanya sebagai sumber belajar, tetapi juga sebagai pemberdayaan
mahasiswa dalam mencapai keterampilan yang utuh.[6]
Adapun secara teknis
operasionalnya, dalam SCL, mahasiswa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan
segenap potensi yang dimilikinya dalam melakukan eksplorasi ilmu pengetahuan
yang diminatinya melalui proses aktif , interaktif, kooperatif, kontekstual dan
mandiri. Keleluasaan ini difasilitasi oleh dosen dengan memegang slogan Ing
ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani.[7]
Pembelajaran aktif
berlangsung ketika para mahasiswa diberi kesempatan lebih untuk berinteraksi
dengan sesama temannya dan juga dosen dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapinya dengan mengeksplorasi pengetahuan yang dimilikinya dari
sumber-sumber lain dan bukan hanya dari dosen.
Pembelajaran interaktif
berarti pembelajaran bukan sekadar tatap muka, tapi lebih dari itu di mana ada
interaksi sosial baik dengan sesame temannya maupun dengan dosennya dan dengan
menggunakan berbagai alat atau media komunikasi, seperti melalui, e-mail,
facebook, whatsup, bbm dan media-media sosial lainnya.
Pembelajaran mandiri
mengandung arti bahwa segala proses pembelajaran diatur dan dikontrol oleh
mahasiswa sendiri. Mahasiswalah yang memutuskan kapan, di mana dan bagaimana
mereka belajar tentang sesuatu hal yang mereka anggap penting. Dalam hal ini,
mahasiswa dilatih untuk mengidentifikasi masalah yang perlu dielaborasi lebih jauh,
menemukan tempat menemukan solusi bagi masalah belajarnya, mampu menentukan
prioritas dan menganalisa dari berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang
diperolehnya.
Secara teknis, pembelajaran
kolaboratif merupakan metode instruksional yang membuat mahasiswa dari berbagai
macam latar belakang bekerjasama dalam suatu kelompok kecil untuk mencapai
tujuan pembelajaran secara umum. Di sini, para mahasiswa, berdasarkan konsensus
yang mereka buat sendiri secara bersama-sama, bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap proses pembelajaran yang mereka laksanakan. Setelah itu, mereka saling
berbagi informasi dan berkontribusi dan menerima pandangan dari masing-masing
temannya dengan prasangka yang baik dan saling menghargai kemampuan yang
dimiliki temannya sehingga mencapai keberhasilan yang mereka harapkan bersama.
Dalam pembelajaran
kooperatif, setiap kelompok akan mendapatkan pengetahuan yang baru yang lebih
baik dibandingkan dengan pembelajaran secara individual. Pada saat yang sama,
setiap anggota kelompok berhak memiliki pandangan dan pendapatnya sendiri dalam
bingkai kerjasama dan saling menghargai satu sama lain.
Dalam pembelajaran
kontekstual yang merupakan salah satu karakteristik SCL, mahasiswa dapat
memperoleh pengetahuan yang baru dengan cara yang lebih bermakna karena
melibatkan latar belakang psikologi, budaya dan sosial mereka. Dengan
pembelajaran ini pula, mahasiswa dipupuk rasa perca diri mereka sehingga mereka
dapat menghasilkan karya-karya terbaik mereka yang pada gilirannya memberikan
mereka keterampilan dan kompetensi yang mereka butuhkan di masa yang akan
datang.
Lalu bagaimana dengan
penilaian hasil belajar mahasiswa dengan model SCL ini?
Dalam
konteks SCL, format terbaik untuk menilai hasil belajar mahasiswa adalah yang
terkait dengan metodologi dan tujuan pembelajaran, terutama untuk kepentingan
umpan balik kepada mahasiswa. Dalam SCL, penilaian hasil belajar, pengetahuan,
sikap dan keahlian ditekankan sebagai satu kesatuan yang utuh atau integral
yang meliputi tanggung jawab, kerjasama, pemecahahan masalah, kritisisme dan
pemahaman terhadap materi pelajaran. Ke depan, hasil penilaian ini dapat
dijadikan bahan evaluasi untuk perbaikan pembelajaran di masa-masa yang akan
datang.[8]
D. Upaya Membangun Sinergi antara Mahasiswa dan Dosen dalam Penerapan SCL
Ketika kualitas pembelajaran sebagian besarnya
ditentukan oleh model yang diterapkan, maka model SCL merupakan pilihan tepat dalam
meningkatkan kualitas akademik mahasiswa. Namun penerapan model pembelajaran
SCL ini tidak akan efektif tanpa adanya sinergi antara mahasiswa dan dosennya.
Oleh karena itu, dalam menjalankan peran edukatifnya, seorang dosen harus mampu
melibatkan para mahasiswanya dalam setiap aktivitas pembelajarannya, baik di
dalam maupun di luar kelas.
Di sisi lain, mahasiswa juga dituntut untuk mengikuti arahan dosennya dalam
proses belajar mengajar sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak
perkuliahan.
Namun sebelum membangun sinergi
antara dosen dan mahasiswa dalam penerapan SCL, ada beberapa prasyarat yang
harus dimiliki, baik oleh mahasiswa maupun dosen di antaranya adalah:
1. Memiliki kegemaran membaca
Dosen
dan mahasiswa, masing-masing perlu meningkatkan kegemarannya dalam membaca,
terutama yang berkaitan dengan kompetensi atau bidang keilmuan yang ditekuninya
selama ini. Kegemaran membaca ini mutlak diperlukan agar aktivitas pembelajaran
menjadi lebih hidup dan dinamis karena dosen dan mahasiswanya memiliki wawasan
yang sama-sama luas.
Selain
itu, dengan budaya membaca yang tinggi, diharapkan kompetensi mahasiswa dan
dosen bertambah dari yang sebelumnya tidak memiliki kemampuan menulis menjadi
mampu menulis. Juga dari yang sebelumnya kurang antusias dalam melakukan
penelitian menjadi insan yang aktif dan progresif dalam melakukan
penelitian-penelitian, yang pada gilirannya akan memberikan nilai tambah secara
ekonomis dan hidupnya pun menjadi lebih bermakna.
2. Tidak eksklusif
Dalam hal ini dosen adalah
seorang yang bijaksana dalam bersikap. Toleran terhadap perbedaan dan tidak
otoriter dan memaksakan kehendak. Di sisi lain, mahasiswa juga dituntut untuk
punya rasa empati dan saling menghargai dan juga toleran terhadap sikap,
pandangan dan pendapat mahasiswa lain dan dosen yang berbeda pandangan dengannya.
Selain itu, sikap eksklusif
bukan hanya akan membuat jarak antara mahasiswa dan mahasiswa lainnya dan dosen
sebagai dampak psikologis, tetapi juga membuat proses belajar mengajar
bernjalan tidak baik, yang pada akhirnya menjauhkan para mahasiswa dan dosennya
dari pencapaian tujuan dari aktivitas pembelajaran itu sendiri.
3. Memiliki dedikasi yang tinggi dan komitmen yang
kuat
Dalam
hal ini, baik dosen maupun mahasiswa dituntut untuk memiliki dedikasi yang
tinggi terhadap keilmuan dan komitmen bersama yang kuat dalam melakukan
aktivitas pembelajaran dari awal hingga akhir untuk mencapai hasil yang
maksimal dan bermanfaat sebagaimana yang diharapkan dan dicita-citakan bersama.
Adapun
usaha-usaha yang bisa dilakukan untuk membangun sinergi antara dosen dan
mahasiswa adalah sebagai berikut:
1.
Disiplin dalam melakukan proses belajar
mengajar.
Dalam
hal ini, baik dosen maupun mahasiswa harus sama-sama menjunjung tinggi
kedisiplinan dalam aktivitas pembelajaran di dalam maupun di luar kelas dengan
hadir pada waktu yang telah ditetapkan. Selain itu, baik dosen maupun mahasiswa
harus sama-sama berupaya untuk hadir di setiap pertemuan yang telah dijadwalkan,
kecuali jika ada udzur syar,i (halangan yang dapat diberikan toleransi).
Itu pun frekuensinya sangat sedikit dengan maksimal 3 (tiga) kali dalam setiap
semester.
2.
Memahami dan
menghayati posisi dan kedudukan masing-masing.
Dalam hal ini, mahasiswa dan
dosen harus memahami dan menghayati posisi dan kedudukan masing-masing. Dosen
harus tampil sebagai seorang yang bijaksana dalam memainkan perannya sebagai
fasilitator dalam setiap aktivitas pembelajaran dan tidak memberikan
arahan-arahan yang bersifat instruktif dan menggurui mahasiswanya. Di sisi
lain, mahasiswa juga harus dapat menempatkan dirinya sebagai pembelajar yang
baik yang selalu mengedepankan diskusi dibanding debat kusir serta mengutamakan
kerjasama dalam kelompoknya dibanding keegoannya semata.
Dalam hubungannya dengan
dosennya, mahasiswa juga mampu membawa dirinya
dengan baik dan mengapresiasi dosennya yang telah secara maksimal
memberikan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkannya dalam mencari dan menggali
informasi dan ilmu pengetahuan serta menemukan solusi dari berbagai masalah
yang dihadapinya dengan selalu menjaga sikapnya dan tetap mengikuti arahan-arahan dan
kebijakannya dalam setiap aktivitas pembelajarannya.
3.
Menjadi solusi bagi penyelesaian masalah
Dalam hal ini, baik dosen
maupun mahasiswa harus berupaya menjadikan diri mereka sebagai bagian dari
solusi dari masalah-masalah yang ada,
apakah masalah yang ada di dalam kelompok-kelompok diskusi maupun yang ada di
luar kelompoknya. Baik masalah-masalah yang berkaitan dengan pencarian ilmu
pengetahuan dan penggalian informasi, maupun masalah-masalah yang berkaitan
dengan latar belakang mahasiswa secara, sosial, ekonomi dan budaya.
Hal ini karena pada
hakekatnya pendidikan itu bukan hanya tentang tranformasi ilmu pengetahuan
saja, tetapi juga bagaimana agar ilmu pengetahuan yang diperoleh itu memiliki
manfaat bagi penyelesaian problem-problem yang dihadapi oleh setiap insan dalam
lingkungan sosialnya.
E. Penutup
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa perkembangan zaman yang disertai dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, meniscayakan penerapan model pembelajaran dalam
metode pendidikan yang lebih berorientasi pada peserta didik, baik di
sekolah-sekolah maupun di perguruan-perguruan tinggi yang dikenal dengan
istilah Student Centered Learning (SCL).
Adapun tujuan yang ingin
dicapai dalam penerapan SCL di perguruan tinggi, selain untuk meningkatkan
kualitas akademik mahasiswa agar menjadi lulusan-lulusan yang kompeten dalam
pengembangan karier di dunia kerja, juga mampu menjadi solusi bagi masalah-masalah
yang dihadapinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Agar penerapan SCL di
perguruan tinggi efektif dibutuhkan sinergi antara dosen dan mahasiswa. Dalam
hal ini, prasyaratnya adalah lahirnya budaya membaca di kalangan mahasiswa dan
dosen, hilangnya eksklusifisme dalam sikap dan
perilaku dan tingginya komitmen terhadap dunia keilmuan dan penelitian.
Adapun upaya yang perlu
dilakukan oleh dosen dan mahasiswa dalam membangun sinergi ini adalah dengan
meningkatkan kedisiplinan dalam setiap aktivitas pembelajaran, memahami posisinya masing-masing sebagai pembelajar dan
fasilitator dan berupaya untuk menjadi solusi bagi segala permasalahan, baik
yang ada di lingkungan perguruan tinggi maupun yang ada di masyarakat, bukan
sebaliknya menjadi masalah bagi yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dewajani, Sylvie, Student Centered
Learning, UGM, Yogyakarta, 2006
2. Ditjen Dikti Diknas, Tanya Jawab Seputar Unit dan
Proses Pembelajaran di Perguruan
Tinggi, 2004.
3.
Hadi, R, Dari Teacher Centered Learning (TCL) ke Student Centered
Learning (SCL): Perubahan Metode Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Insania,
vol. 12 no. 3 hal. 408-419, 2007.
4.
Rusman, Model-model Pembelajaran, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
5.
Harsono, Hakekat Student Centered Learning,
Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gajah Mada, 2006.
13.
http://luk.staff.ugm.ac.id/mmp/Harsono/Kearifan.pdf
[1] Makalah ini disampaikan pada acara Program Pengenalan Studi dan
Almamater (Propesa) di STAI Indonesia Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2015.
[2] Penulis
adalah Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) STAI
Indonesia Jakarta.
[3]https://www.westminster.ac.uk/__data/assets/pdf_file/0004/41782/StudentCentredLearning.pdf, diakses tanggal 13 Oktober 2015
[5] Dikutip dari Harmon SW, Hirumi, A Systematic Approach to the
Integration of Interactive Distance Learning into Education and Training, J.
Educ Business, 1996 dalam http://luk.staff.ugm.ac.id/mmp/Harsono/Kearifan.pdf, diakses tanggal 16
Oktober 2015.
[6]Ramdhani, Neila, Ruh Experiental Learning
dalam SCL, dalam http://neila.staff.ugm.ac.id/?pilih=lihat&id=10, diakses tanggal 13 Oktober 2015