Monday, October 19, 2015

MEMBANGUN SINERGITAS DOSEN DAN MAHASISWA



MEMBANGUN SINERGITAS DOSEN DAN MAHASISWA
DALAM PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT CENTERED LEARNING (SCL) DI PERGURUAN TINGGI[1]
Oleh:
H. Aip Aly Arfan, MA[2]

A. Pendahuluan

   Masa reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 telah membawa demokrasi ke arah yang relatif lebih baik dengan masuknya ke dunia pendidikan nasional antara lain dengan lahirnya Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan bukan lagi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi diharapkan akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh lebih positif di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Selain itu, pentingnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang sejahtera dan berkualitas juga menjadi perkembangan penting masa reformasi yang terwujud dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dengan terbitnya UU ini, diharapkan bukan hanya kesejahteraan para guru dan dosen yang meningkat, tetapi juga kualitasnya. Apalagi ditambah dengan Peraturan Pemerintah (PP) no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
          Sekarang reformasi sudah hampir memasuki usia 17 tahun. Dengan masa yang cukup lama disertai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi informasi yang sangat pesat ini, seharusnya kualitas pendidikan di Indonesia juga meningkat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Semakin hari pendidikan di Indonesia nampak semakin memburuk. Hal ini ditandai dengan banyaknya sarjana-sarjana atau lulusan perguruan tinggi yang bekerja tidak sesuai dengan jurusannya, atau malah menganggur dikarenakan tidak memiliki kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
          Tentunya banyak faktor yang melatarbelakangi buruknya lulusan perguruan tinggi ini di Indonesia. Salah satunya adalah mungkin karena belum diterapkannya model pembelajaran Student Centered Learning (SCL) di perguruan tinggi yang merupakan faktor terpenting dalam kualitas belajar mahasiswa, yang pada gilirannya akan menjadi alumni atau lulusan yang berkompeten dan memiliki keahlian yang dibutuhkan dalam karier dan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya di dalam masyarakat.
          Belakangan ini, diskusi-diskusi, lokakarya dan seminar-seminar tentang Student Centered Learning (SCL) juga mulai banyak dilakukan dalam rangka mewacanakan penerapannya di perguruan tinggi. Bahkan beberapa perguruan tinggi di Indonesia sudah menerapkan model pembelajaran yang secara teoritis telah menjadi pembicaraan pada pertengahan abad ke-20 ini di institusi-institusi mereka, seperti Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
          Apa yang dimaksud Student Centered Learning (SCL) ini? Bagaimana penerapannya di perguruan tinggi? Dan bagaimana membangun sinergi antara  dosen dan mahasiswa dalam menerapkan SCL ini di perguruan tinggi?

B. Dari Teacher Centered Learning (TCL) ke Student Centered Learning (SCL)

Selama ini di Indonesia, model pembelajaran yang diterapkan masih didominasi oleh model pembelajaran yang dikenal dengan istilah Teacher Centered Learning (TCL) di mana aktivitas pembelajaran atau pemberian materi kuliah yang bersifat satu arah, yaitu dari dosen ke mahasiswa. Pada model TCL ini, dosen lebih banyak menggunakan metode ceramah dalam mentransfer ilmu pengetahuan yang dimilikinya ke mahasiswa yang hanya mendengarkan dan sesekali mencatat apa yang didengarnya dari dosen. Di sini nampak bahwa dosen merupakan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Sebenarnya, dalam penerapan model TCl ini sudah dilakukan inovasi berupa tanya jawab maupun pemberian tugas, namun tetap saja hasilnya belum optimal.
Seiring dengan perkembangan zaman dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi informasi, model TCL ini dirasa sudah kurang efektif lagi dalam meningkatkan kualitas akademik mahasiswa. Oleh karena itu, beberapa kampus sudah mulai beralih dari model TCL ini ke model pembelajaran yang dikenal dengan istilah Student Centered Learning (SCL).  Apa yang dimaksud dengan Student Centered Learning (SCL) ini?
Banyak definisi SCL yang diberikan oleh para ahli. Di antara mereka ada Rogers sebagaimana dikutip  Zulfia Trinova, bahwa SCL adalah perpindahan kekuatan dalam proses pembelajaran dari kekuatan guru sebagai pakar ke kekuatan siswa sebagai pembelajar. Ada juga definisi yang diberikan oleh Kember sebagaimana dikutip oleh Zulfia bahwa SCL merupakan sebuah kutub proses pembelajaran yang menekankan siswa sebagai pembangun pengetahuan dan guru sebagai agen pengetahuan.[3]
Berbeda dengan model TCL yang menempatkan dosen sebagai pusat materi, maka model SCL  sebaliknya, di mana mahasiswa adalah sumber pengetahuannya sendiri. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa mahasiswa merupakan kunci menuju ke pengetahuan dan keterampilannya sendiri, bukan dosen. Dengan redaksi yang berbeda, namun secara substansinya sama, O,Neill G, Mc Mahon sebagaimana dikutip oleh Harsono, mengatakan bahwa ide dasar SCL ini adalah Student might not only choose what to study, but how and why that might be interesting one to study. [4] Pemikiran ini didukung oleh adanya penelitian tentang kerja otak manusia, di mana seseorang akan belajar secara lebih baik jika mengalami langsung dan terlibat aktif dalam proses tersebut.

C. Gambaran Perbandingan antara TCL dan SCL

Apabila dibandingkan antara Teacher Centered Learning (TCL) dan Student Centered Learning (SCL) maka hasilnya adalah sebagaimana tercantum pada tabel berikut[5]:
Variabel
Instruksional
Pendekatan Instruksional

Teacher centered learning
Student centered learning
1
2
3
Hasil belajar
(Learning
outcomes)
• Informasi verbal yang secara spesifik mengacu pada bidang ilmu tertentu
• Tingkat keterampilan berpikir rendah (mengingat, mengenal, menjelaskan)
• Menghafalkan suatu fakta, rumus, atau besaran yang abstrak dan terpisah-pisah atau terkotak- kotak
• Informasi dan pengetahuan interdisiplin
• Tingkat ketrampilan berpikir
tinggi (problem solving)
• Keterampilan memproses
informasi (mengakses, mengorganisasikan, menginterpretasikan, mengkomunikasikan informasi)

1
2
3
Tujuan belajar
• Guru menentukan tujuan instruksional berdasarkan pengalaman, praktek yang telah dilakukan, ataupun standar yang telah ditentukan menurut kurikulum negara yang berlaku
• Siswa bekerja bersama guru untuk memilih tujuan belajar berdasarkan permasalahan yang dihadapi, hal-hal yang telah dipelajari dan dikuasai siswa sebelum-nya, ketertarikan, dan pengalaman sebelumnya.
Strategi belajar
• Strategi belajar ditentukan oleh guru
• Didisain untuk kemajuan seluruh kelompok dan berbasis pada kemampuan rata-rata
• Informasi terutama diatur dan diberikan oleh guru, seperti kuliah, ditambah bahan bacaan wajib, dan tugas.
• Guru berkerja sama dengan siswa untuk menentukan strategi belajar
• Didisain untuk memenuhi kecepatan dan kebutuhan belajar mandiri setiap siswa
• Siswa diberikan akses langsung ke berbagai sumber informasi seperti buku, database online, sumber masyarakat.
Pengukuran
dan penilaian
• Pengukuran dilakukan untuk mengelompokkan siswa
• Tes atau ujian diadakan untuk mengukur keberhasilan siswa menguasai informasi tertentu
• Guru menentukan kriteria keberhasilan untuk siswa
• Pengukuran adalah bagian integral dari proses belajar
• Pengukuran berbasis kinerja siswa digunakan untuk menilai kemampuan siswa

Mengaplikasikan pengetahuan- nya
1
2
3
Peran guru
Guru mengatur dan mempresentasi kan informasi kepada siswa
• Guru berperan sebagai penjaga ilmu pengetahuan dan mengontrol pilihan siswa atas bahan belajar
• Guru memimpin proses belajar
• Guru menyediakan berbagai cara untuk mengakses informasi
• Guru berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk mendapatkan dan memproses informasi
• Guru memfasilitasi proses belajar
Peran siswa
• Siswa mengharapkan guru untuk mengajar mereka sehingga dapat lulus ujian
• Siswa berperan pasif sebagai penerima informasi
• Siswa merekonstruksi pengetahuan dan informasi
• Siswa bertanggung jawab terhadap proses belajar
• Siswa berperan aktif dalam mencaripengetahuan
• Siswa mengkonstruksi pengetahuan dan makna
Lingkungan
belajar
• Siswa duduk berjajar dalam format kelas
• Informasi dipresentasikan melalui kuliah, buku, dan media lain
• Siswa belajar di suatu tempat dengan akses penuh kepada sumber belajar
• Siswa lebih banyak bekerja secara mandiri dan pada waktu tertentu bekerjasama secara kelompok kecil

C. Penerapan SCL di Perguruan Tinggi

          Penerapan SCL di perguruan tinggi dapat diartikan sebagai kegiatan yang terprogram dalam desain facilitating, empowering dan enabling untuk mahasiswa agar dapat belajar secara aktif yang menekankan sebagai sumber belajar.
          Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa SCL merupakan model atau strategi pembelajaran yang menempatkan mahasiswa sebagai subjek, maka dosen tidak lagi menjadi pusat ilmu pengetahuan atau sumber materi utama dan posisinya pun menjadi fasilitator, motivator dan mitra pembelajaran.
          Adapun ciri-ciri atau karakteristik pembelajaran dengan model SCL sebagaimana yang dijelaskan oleh Neila Ramdhani adalah sebagai berikut:
1.  Mahasiswa belajar, baik secara individu maupun kelompok untuk membangun pengetahuan dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan teknologi yang dibutuhkan secara aktif.
2. Dosen lebih berperan sebagai fasilitator dibanding sebagai mentor.
3. Mahasiswa tidak sekadar kompeten dalam ilmunya, tetapi juga dalam belajar. Artinya mahasiswa tidak hanya menguasai matakuliahnya, tetapi juga belajar bagaimana belajar.
4.  Belajar menjadi kegiatan komunitas yang difasilitasi oleh dosen yang mampu mengelola pembelajarannya dengan berorientasi kepada mahasiswa.
5.  Belajar dimaknai sebagai pendidikan sepanjang hayat.
6.  Belajar, termasuk memanfaatkan teknologi berfungsi tidak hanya sebagai sumber belajar, tetapi juga sebagai pemberdayaan mahasiswa dalam mencapai keterampilan yang utuh.[6]
          Adapun secara teknis operasionalnya, dalam SCL, mahasiswa memiliki keleluasaan untuk mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya dalam melakukan eksplorasi ilmu pengetahuan yang diminatinya melalui proses aktif , interaktif, kooperatif, kontekstual dan mandiri. Keleluasaan ini difasilitasi oleh dosen dengan memegang slogan Ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani.[7]
          Pembelajaran aktif berlangsung ketika para mahasiswa diberi kesempatan lebih untuk berinteraksi dengan sesama temannya dan juga dosen dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan mengeksplorasi pengetahuan yang dimilikinya dari sumber-sumber lain dan bukan hanya dari dosen.
          Pembelajaran interaktif berarti pembelajaran bukan sekadar tatap muka, tapi lebih dari itu di mana ada interaksi sosial baik dengan sesame temannya maupun dengan dosennya dan dengan menggunakan berbagai alat atau media komunikasi, seperti melalui, e-mail, facebook, whatsup, bbm dan media-media sosial lainnya.
          Pembelajaran mandiri mengandung arti bahwa segala proses pembelajaran diatur dan dikontrol oleh mahasiswa sendiri. Mahasiswalah yang memutuskan kapan, di mana dan bagaimana mereka belajar tentang sesuatu hal yang mereka anggap penting. Dalam hal ini, mahasiswa dilatih untuk mengidentifikasi masalah yang perlu dielaborasi lebih jauh, menemukan tempat menemukan solusi bagi masalah belajarnya, mampu menentukan prioritas dan menganalisa dari berbagai informasi dan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
          Secara teknis, pembelajaran kolaboratif merupakan metode instruksional yang membuat mahasiswa dari berbagai macam latar belakang bekerjasama dalam suatu kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran secara umum. Di sini, para mahasiswa, berdasarkan konsensus yang mereka buat sendiri secara bersama-sama, bertanggung jawab sepenuhnya terhadap proses pembelajaran yang mereka laksanakan. Setelah itu, mereka saling berbagi informasi dan berkontribusi dan menerima pandangan dari masing-masing temannya dengan prasangka yang baik dan saling menghargai kemampuan yang dimiliki temannya sehingga mencapai keberhasilan yang mereka harapkan bersama.
          Dalam pembelajaran kooperatif, setiap kelompok akan mendapatkan pengetahuan yang baru yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran secara individual. Pada saat yang sama, setiap anggota kelompok berhak memiliki pandangan dan pendapatnya sendiri dalam bingkai kerjasama dan saling menghargai satu sama lain.
          Dalam pembelajaran kontekstual yang merupakan salah satu karakteristik SCL, mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan yang baru dengan cara yang lebih bermakna karena melibatkan latar belakang psikologi, budaya dan sosial mereka. Dengan pembelajaran ini pula, mahasiswa dipupuk rasa perca diri mereka sehingga mereka dapat menghasilkan karya-karya terbaik mereka yang pada gilirannya memberikan mereka keterampilan dan kompetensi yang mereka butuhkan di masa yang akan datang.
          Lalu bagaimana dengan penilaian hasil belajar mahasiswa dengan model SCL ini?
          Dalam konteks SCL, format terbaik untuk menilai hasil belajar mahasiswa adalah yang terkait dengan metodologi dan tujuan pembelajaran, terutama untuk kepentingan umpan balik kepada mahasiswa. Dalam SCL, penilaian hasil belajar, pengetahuan, sikap dan keahlian ditekankan sebagai satu kesatuan yang utuh atau integral yang meliputi tanggung jawab, kerjasama, pemecahahan masalah, kritisisme dan pemahaman terhadap materi pelajaran. Ke depan, hasil penilaian ini dapat dijadikan bahan evaluasi untuk perbaikan pembelajaran di masa-masa yang akan datang.[8]

D. Upaya Membangun Sinergi antara Mahasiswa dan Dosen dalam Penerapan SCL

                Ketika kualitas pembelajaran sebagian besarnya ditentukan oleh model yang diterapkan, maka model  SCL merupakan pilihan tepat dalam meningkatkan kualitas akademik mahasiswa. Namun penerapan model pembelajaran SCL ini tidak akan efektif tanpa adanya sinergi antara mahasiswa dan dosennya. Oleh karena itu, dalam menjalankan peran edukatifnya, seorang dosen harus mampu melibatkan para mahasiswanya dalam setiap aktivitas pembelajarannya, baik di dalam maupun di luar kelas. 
Di sisi lain, mahasiswa juga dituntut untuk mengikuti arahan dosennya dalam proses belajar mengajar sebagaimana yang telah disepakati dalam kontrak perkuliahan.
            Namun sebelum membangun sinergi antara dosen dan mahasiswa dalam penerapan SCL, ada beberapa prasyarat yang harus dimiliki, baik oleh mahasiswa maupun dosen di antaranya adalah:
1.      Memiliki kegemaran membaca
          Dosen dan mahasiswa, masing-masing perlu meningkatkan kegemarannya dalam membaca, terutama yang berkaitan dengan kompetensi atau bidang keilmuan yang ditekuninya selama ini. Kegemaran membaca ini mutlak diperlukan agar aktivitas pembelajaran menjadi lebih hidup dan dinamis karena dosen dan mahasiswanya memiliki wawasan yang sama-sama luas.
          Selain itu, dengan budaya membaca yang tinggi, diharapkan kompetensi mahasiswa dan dosen bertambah dari yang sebelumnya tidak memiliki kemampuan menulis menjadi mampu menulis. Juga dari yang sebelumnya kurang antusias dalam melakukan penelitian menjadi insan yang aktif dan progresif dalam melakukan penelitian-penelitian, yang pada gilirannya akan memberikan nilai tambah secara ekonomis dan hidupnya pun menjadi lebih bermakna.
2.      Tidak eksklusif
          Dalam hal ini dosen adalah seorang yang bijaksana dalam bersikap. Toleran terhadap perbedaan dan tidak otoriter dan memaksakan kehendak. Di sisi lain, mahasiswa juga dituntut untuk punya rasa empati dan saling menghargai dan juga toleran terhadap sikap, pandangan dan pendapat mahasiswa lain dan dosen yang berbeda pandangan dengannya.
          Selain itu, sikap eksklusif bukan hanya akan membuat jarak antara mahasiswa dan mahasiswa lainnya dan dosen sebagai dampak psikologis, tetapi juga membuat proses belajar mengajar bernjalan tidak baik, yang pada akhirnya menjauhkan para mahasiswa dan dosennya dari pencapaian tujuan dari aktivitas pembelajaran itu sendiri.
3.      Memiliki dedikasi yang tinggi dan komitmen yang kuat
          Dalam hal ini, baik dosen maupun mahasiswa dituntut untuk memiliki dedikasi yang tinggi terhadap keilmuan dan komitmen bersama yang kuat dalam melakukan aktivitas pembelajaran dari awal hingga akhir untuk mencapai hasil yang maksimal dan bermanfaat sebagaimana yang diharapkan dan dicita-citakan bersama.
          Adapun usaha-usaha yang bisa dilakukan untuk membangun sinergi antara dosen dan mahasiswa adalah sebagai berikut:
1.  Disiplin dalam melakukan proses belajar mengajar.
          Dalam hal ini, baik dosen maupun mahasiswa harus sama-sama menjunjung tinggi kedisiplinan dalam aktivitas pembelajaran di dalam maupun di luar kelas dengan hadir pada waktu yang telah ditetapkan. Selain itu, baik dosen maupun mahasiswa harus sama-sama berupaya untuk hadir di setiap pertemuan yang telah dijadwalkan, kecuali jika ada udzur syar,i (halangan yang dapat diberikan toleransi). Itu pun frekuensinya sangat sedikit dengan maksimal 3 (tiga) kali dalam setiap semester.
2. Memahami dan menghayati posisi dan kedudukan masing-masing.
          Dalam hal ini, mahasiswa dan dosen harus memahami dan menghayati posisi dan kedudukan masing-masing. Dosen harus tampil sebagai seorang yang bijaksana dalam memainkan perannya sebagai fasilitator dalam setiap aktivitas pembelajaran dan tidak memberikan arahan-arahan yang bersifat instruktif dan menggurui mahasiswanya. Di sisi lain, mahasiswa juga harus dapat menempatkan dirinya sebagai pembelajar yang baik yang selalu mengedepankan diskusi dibanding debat kusir serta mengutamakan kerjasama dalam kelompoknya dibanding keegoannya semata.
          Dalam hubungannya dengan dosennya, mahasiswa juga mampu membawa dirinya  dengan baik dan mengapresiasi dosennya yang telah secara maksimal memberikan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkannya dalam mencari dan menggali informasi dan ilmu pengetahuan serta menemukan solusi dari berbagai masalah yang dihadapinya dengan selalu menjaga sikapnya dan  tetap mengikuti arahan-arahan dan kebijakannya dalam setiap aktivitas pembelajarannya.
3.  Menjadi solusi bagi penyelesaian masalah
          Dalam hal ini, baik dosen maupun mahasiswa harus berupaya menjadikan diri mereka sebagai bagian dari solusi dari  masalah-masalah yang ada, apakah masalah yang ada di dalam kelompok-kelompok diskusi maupun yang ada di luar kelompoknya. Baik masalah-masalah yang berkaitan dengan pencarian ilmu pengetahuan dan penggalian informasi, maupun masalah-masalah yang berkaitan dengan latar belakang mahasiswa secara, sosial, ekonomi dan budaya.
          Hal ini karena pada hakekatnya pendidikan itu bukan hanya tentang tranformasi ilmu pengetahuan saja, tetapi juga bagaimana agar ilmu pengetahuan yang diperoleh itu memiliki manfaat bagi penyelesaian problem-problem yang dihadapi oleh setiap insan dalam lingkungan sosialnya.

E. Penutup

             Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan zaman yang disertai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, meniscayakan penerapan model pembelajaran dalam metode pendidikan yang lebih berorientasi pada peserta didik, baik di sekolah-sekolah maupun di perguruan-perguruan tinggi yang dikenal dengan istilah Student Centered Learning (SCL).
          Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan SCL di perguruan tinggi, selain untuk meningkatkan kualitas akademik mahasiswa agar menjadi lulusan-lulusan yang kompeten dalam pengembangan karier di dunia kerja, juga mampu menjadi solusi bagi masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan bermasyarakat.
          Agar penerapan SCL di perguruan tinggi efektif dibutuhkan sinergi antara dosen dan mahasiswa. Dalam hal ini, prasyaratnya adalah lahirnya budaya membaca di kalangan mahasiswa dan dosen, hilangnya eksklusifisme dalam sikap dan  perilaku dan tingginya komitmen terhadap dunia keilmuan dan penelitian.
          Adapun upaya yang perlu dilakukan oleh dosen dan mahasiswa dalam membangun sinergi ini adalah dengan meningkatkan kedisiplinan dalam setiap aktivitas pembelajaran, memahami  posisinya masing-masing sebagai pembelajar dan fasilitator dan berupaya untuk menjadi solusi bagi segala permasalahan, baik yang ada di lingkungan perguruan tinggi maupun yang ada di masyarakat, bukan sebaliknya menjadi masalah bagi yang lainnya.




DAFTAR PUSTAKA
1.  Dewajani, Sylvie, Student Centered Learning, UGM, Yogyakarta, 2006
2.  Ditjen Dikti Diknas, Tanya Jawab Seputar Unit dan Proses Pembelajaran   di Perguruan Tinggi, 2004.
3.  Hadi, R, Dari Teacher Centered Learning (TCL) ke Student Centered Learning (SCL): Perubahan Metode Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Insania, vol. 12 no. 3 hal. 408-419, 2007.
4.  Rusman, Model-model Pembelajaran, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
5.  Harsono, Hakekat Student Centered Learning, Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gajah Mada, 2006.
6.  Harsono, Aplikasi SCL dalam Proses Pembelajaran, dalam www.belajar.usd.ac.id
13.      http://luk.staff.ugm.ac.id/mmp/Harsono/Kearifan.pdf



[1] Makalah ini disampaikan pada acara Program Pengenalan Studi dan Almamater (Propesa) di STAI Indonesia Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2015.
[2] Penulis adalah Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) STAI Indonesia Jakarta.
[5] Dikutip dari Harmon SW, Hirumi, A Systematic Approach to the Integration of Interactive Distance Learning into Education and Training, J. Educ Business, 1996 dalam http://luk.staff.ugm.ac.id/mmp/Harsono/Kearifan.pdf, diakses tanggal 16 Oktober 2015.
[6]Ramdhani, Neila, Ruh Experiental Learning dalam SCL, dalam http://neila.staff.ugm.ac.id/?pilih=lihat&id=10, diakses tanggal 13 Oktober 2015